Selasa, 11 Juni 2013
Ketertingglan dunia modern karena terlalu cepat menerima perubahan. Seperti itulah yang aku ingat dari Sartre, saat mendengar pilihanmu untuk membaca Les Mot’s (Kata-kat
a), sebuah novel biografisnya, yang didalamnya juga kita temukan sebuah pengakuan puitik “kehidupanku telah kuawali seperti rupanya aku akan menutupnya; ditengah buku-buku ku. Aku tak tahu jelas rantai asosiasi kebahasaan sehingga pilihan itu bisa jatuh pada novel ini, hanya semacam kilasan yang memberikan sensionlitas-afeksi pada jejaring sosial; aku jadi teringat, walaupun tidak jitu, mungkin berawal dari catatan singkatmu di facebook, yang menulis tentang “berbahagialah bagi mereka yang berekstase dengan tumpukan-tumpukan buku”.
Seperti itulah yang aku ingat, maklum, daya ingat ku sedikit terhalang akibat gejala masa silam yang masih menunjukan medan partikelrnya, membuat ku sedikit sulit untuk mengingat secara detail. Ataukah mungkin seperti kau tuliskan dalam “Aku, Kamu dan tumpukan Buku” bahwa otak, secara genetis-organis membut kita berbeda dalam merangkai kenangan. Aku jadi ingat saat membaca Quraish Shihab, Perempuan, dan Daniel Guleman dalam bukunya Social Intelgence, kecenduruangan perempaun lebih pada mengingat waktu secara mendetail ketimbang lelaki. Mungkin kita butuh ruang lebih untuk mebicarakan hal ini.
Hei kau wanita separuh
baya, apakah gerangan yang kau fikirkan?? Apa yang menjadi beban di pundakmu
saat ini?? Bagilah ke kami, jamgan
menangis sendiri, karena ketika aku menangis kau selalu dating merangkul memberi
kesejukan di bathin seperti tetes demi tetes embun yang hadir di saat pagi.
jangan tersiksa sendiri, karena ketika aku dalam situasi yang memprihatinkan, kau rela berkorban untukku meski harus memakan bangkai sekalipun.
jangan tersiksa sendiri, karena ketika aku dalam situasi yang memprihatinkan, kau rela berkorban untukku meski harus memakan bangkai sekalipun.
Kita bukan ada di
panggung sandiwara karena kita tidak pernah melakoni hal-hal yang
terdramatisir. Kita bukan segopoh emas, melainkan tembaga yang terus akan tetap
di poles sehingga menjadi satu kesatuan utuh.
masih ingatkah kalian?? Saat kita terbuang di antara gelak tawa yang terpampang di antara wajah-wajah pendosa?? Membangkitkan asa bahwa aku dan kita mampu hidup di antara yang terbuang. Saling mengenal di antara putih abu-abu, meski saat ini kita sudah beranjak meninggalkan secarik kenangan yang hanya ada dalam ingatan sampai bahkan dalam intuisi tapi tak menjadikan kalian beranjak di hati dan fikiran.
masih ingatkah kalian?? Saat kita terbuang di antara gelak tawa yang terpampang di antara wajah-wajah pendosa?? Membangkitkan asa bahwa aku dan kita mampu hidup di antara yang terbuang. Saling mengenal di antara putih abu-abu, meski saat ini kita sudah beranjak meninggalkan secarik kenangan yang hanya ada dalam ingatan sampai bahkan dalam intuisi tapi tak menjadikan kalian beranjak di hati dan fikiran.
Kamis, 06 Juni 2013
Menurutku cinta itu
tak perlu diucapkan dengan kata-kata, tak perlu diungkapkan dengan
puisi atau bahkan dinyanyikan dengan lagu, tapi cinta itu disimpan
dalam hati, didoakan saat Shalat dan dijaga dengan perasaan.
Tak harus membuat puisi dengan menyatakan cinta, tak pula menyanyikan lagu tuk mengutarakannya. Tapi dengan doa, cinta juga dapat selalu terungkap dan terucap.
Mungkin menurut mereka, aku tak romantis, tak pula puitis tapi biarlah aku tak peduli, karena bagiku cinta itu tak harus berbentuk kata-kata romantis atapun puisi yang puitis.
Tak harus membuat puisi dengan menyatakan cinta, tak pula menyanyikan lagu tuk mengutarakannya. Tapi dengan doa, cinta juga dapat selalu terungkap dan terucap.
Mungkin menurut mereka, aku tak romantis, tak pula puitis tapi biarlah aku tak peduli, karena bagiku cinta itu tak harus berbentuk kata-kata romantis atapun puisi yang puitis.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)